Keadilan dalam Bisnis
Dalam kaitan dengan keterlibatan sosial, tanggung
jawab sosial perusahaan berkaitan langsung dengan penciptaan atau perbaikan
kondisi sosial ekonomi yang semakin sejahtera dan merata. Tidak hanya dalam
pengertian bahwa terwujudnya keadilan akan menciptakan stabilitas sosial yang
akan menunjang kegiatan bisnis, melainkan juga dalam pengertian bahwa sejauh
prinsip keadilan dijalankan akan lahir wajah bisnis yang lebih baik dan etis.
Tidak mengherankan bahwa hingga sekarang keadilan selalu menjadi salah satu
topic penting dalam etika bisnis.
a. Teori keadilan Aristoteles Atas pengaruh
Aristoteles secara tradisional keadilan dibagi menjadi tiga :
1. Keadilan Legal
Keadilan legal yaitu perlakuan yang sama terhadap
semua orang sesuai dengan hukum yang berlaku. Itu berarti semua orang harus
dilindungi dan tunduk pada hukum yang ada secara tanpa pandang bulu. Keadilan
legal menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan
negara. Intinya adalah semua orang atau kelompok masyarakat diperlakukan secara
sama oleh negara dihadapan dan berdasarkan hukum yang berlaku. Semua pihak
dijamin untuk mendapatkan perlakuan yang sama sesuai dengan hukum yang berlaku.
2. Keadilan Komutatif
Keadilan ini mengatur hubungan yang adil antara
orang yang satu dan yan lain atau antara warganegara yang satu dengan warga
negara lainnya. Keadilan komutatif menyangkut hubungan horizontal antara warga
yang satu dengan warga yang lain. Dalam bisnis, keadilan komutatif juga disebut
atau berlaku sebagai keadilan tukar. Dengan kata lain, keadilan komutatif
menyangkut pertukaran yang adil antara pihak-pihak yang terlibat. Prinsip
keadilan komutatif menuntut agar semua orang menepati apa yang telah
dijanjikannya, mengembalikan pinjaman, memberi ganti rugi yang seimbang,
memberi imbalan atau gaji yang pantas, dan menjual barang dengan mutu dan harga
yang seimbang.
3. Keadilan Distributif
Prinsip dasar keadilan distributif yang dikenal
sebagai keadilan ekonomi adalah distribusi ekonomi yang merata atau yang
dianggap adil bagi semua warga negara. Keadilan distributif punya relevansi
dalam dunia bisnis, khususnya dalam perusahaan. Berdasarkan prinsip keadilan
ala Aristoteles, setiap karyawan harus digaji sesuai dengan prestasi, tugas,
dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pandangan-pandangan Aristoteles
tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics,
politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku
itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan yang berdasarkan filsafat umum
Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum
hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”. Yang sangat penting
dari pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian
kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik
dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia
sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan
yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di
depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya
sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini
Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.
Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan
keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam
hukum perdata dan pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan
terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam
kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa
imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang
kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh,
misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan. Keadilan
distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan
barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan
mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak
Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan
nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan
distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi
masyarakat. Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu
yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka
keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang
dirugikan jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya
perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan
mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk.
Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian
ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan
keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah. Dalam membangun
argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis
yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak
manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu
dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan
pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum
adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua peni laian yang terakhir
itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas
tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk
perundang-undangan, tetap merupakan hukum alamjika bisa didapatkan dari fitrah
umum manusia.
b. Teori Keadilan Adam Smith
Pada teori keadilan Aristoteles, Adam Smith hanya
menerima satu konsep atau teori keadilan yaitu keadilan komutatif. Alasannya,
yang disebut keadilan sesungguhnya hanya punya satu arti yaitu keadilan
komutatif yang menyangkut kesetaraan, keseimbangan, keharmonisan hubungan
antara satu orang atau pihak dengan orang atau pihak lain.
1. Prinsip No Harm
Prinsip keadilan komutatif menurut Adam Smith
adalah no harm, yaitu tidak merugikan dan melukai orang lain baik sebagai
manusia, anggota keluarga atau anggota masyarakat baik menyangkut pribadinya,
miliknya atau reputasinya. Pertama, keadilan tidak hanya menyangkut pemulihan
kerugian, tetapi juga menyangkut pencegahan terhadap pelanggaran hak dan
kepentingan pihak lain. Kedua, pemerintah dan rakyat sama-sama mempunyai hak
sesuai dengan status sosialnya yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah
pihak. Pemerintah wajib menahan diri untuk tidak melanggar hak rakyat dan
rakyat sendiri wajib menaati pemerintah selama pemerintah berlaku adil, maka
hanya dengan inilah dapat diharapkan akan tercipta dan terjamin suatu tatanan
sosial yang harmonis. Ketiga, keadilan berkaitan dengan prinsip
ketidakberpihakan (impartiality), yaitu prinsip perlakuan yang sama didepan
hukum bagi setiap anggota masyarakat.
2. Prinsip Non-Intervention
Disamping prinsip no harm, juga terdapat prinsip
no intervention atau tidak ikut campur dan prinsip perdagangan yang adil dalam
kehidupan ekonomi. Prinsip ini menuntut agar demi jaminan dan penghargaan atas
hak dan kepentingan setiap orang, tidak seorangpun diperkenankan untuk ikut
campur tangan dalam kehidupan dan kegiatan orang lain.campur tangan dalam
bentuk apapun akan merupakan pelanggaran terhadap hak orang tertentu yang
merupakan suatu harm (kerugian) dan itu berarti telah terjadi ketidakadilan.
3. Prinsip Keadilan Tukar
Prinsip keadilan tukar atau prinsip pertukaran
dagang yang fair, terutama terwujud dan terungkap dalam mekanisme harga dalam
pasar. Dalam keadilan tukar ini, Adam Smith membedakan antara harga alamiah dan
harga pasar atau harga aktual. Harga alamiah adalah harga yang mencerminkan
biaya produksi yang telah dikeluarkan oleh produsen, yaitu terdiri dari tiga
komponen biaya produksi berupa upah buruh, keuntungan untuk pemilik modal, dan
sewa. Sedangkan harga pasar atau harga aktual adalah harga yang aktual
ditawarkan dan dibayar dalam transaksi dagang didalam pasar. c. Keadilan sosial
ala John Rawls John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori
keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair
equality of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan
sosial dan ekonomis harus diatur agar memberika manfaat yang paling besar bagi
mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam
prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk
mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu,
the principle of fair equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang
paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat
dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus. Rawls
mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif
bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill. Rawls
berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme,
orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi
perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori
ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh
jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan
bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang
beruntung dalam masyarakat. Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus
diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan
masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi.
Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang
yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga
dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan
orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang
terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang
yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara
orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat
primordial, harus ditolak. Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka
program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan
dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang.
Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga
dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi
setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak
beruntung. Dengan demikian, prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar
masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama
kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang
yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan
untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi
ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi
sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus
memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi
ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
d. Prinsip Keadilan Distributif Rawls
Rawls merumuskan dua prinsip keadilan
distributif, sebagai berikut:
a. the greatest equal principle, bahwa setiap
orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas,
seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hal yang paling
mendasar (hak azasi) yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya
dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan
terwujud (Prinsip Kesamaan Hak). Prinsip the greatest equal principle, menurut
penulis, tidak lain adalah ”prinsip kesamaan hak” merupakan prinsip yang
memberikan kesetaraan hak dan tentunya berbanding terbalik dengan beban
kewajiban yang dimiliki setiap orang (i.c. para kontraktan). Prinsip ini
merupakan ruh dari azas kebebasan berkontrak.
b. ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur
sedemikian rupa sehingga perlu diperhatikan azas atau prinsip berikut: (1) the
different principle, dan (2) the principle of fair equality of opportunity.
Prinsip ini diharapkan memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang
kurang beruntung, serta memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan
kesempatan yang sama, semua posisi dan jabatan harus terbuka bagi semua orang (Prinsip
Perbedaan Obyektif). Prinsip kedua, yaitu “the different principle” dan ”the
principle of (fair) equality of opportunity”, menurut penulis merupakan
“prinsip perbedaan obyektif”, artinya prinsip kedua tersebut menjamin
terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban para pihak, sehingga
secara wajar (obyektif) diterima adanya perbedaan pertukaran asalkan memenuhi
syarat good faith and fairness (redelijkheid en billijkheid). Dengan demikian,
prinsip pertama dan prinsip kedua tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Sesuai dengan azas proprosionalitas, keadilan Rawls ini akan terwujud apabila
kedua syarat tersebut diterapkan secara komprehensif. Dengan penekanannya yang
begitu kuat pada pentingnya memberi peluang yang sama bagi semua pihak, Rawls
berusaha agar keadilan tidak terjebak dalam ekstrem kapitalisme di satu pihak
dan sosialisme di lain pihak. Rawls mengatakan bahwa prinsip (1) yaitu the
greatest equal principle, harus lebih diprioritaskan dari prinsip (2) apabila
keduanya berkonflik. Sedang prinsip (2), bagian b yaitu the principle of (fair)
equality of opportunity harus lebih diprioritaskan dari bagian a yaitu the
different principle. Keadilan harus dipahami sebagai fairness, dalam arti bahwa
tidak hanya mereka yang memiliki bakat dan kemampuan yang lebih baik saja yang
berhak menikmati pelbagai manfaat sosial lebih banyak, tetapi keuntungan
tersebut juga harus membuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung untuk
meningkatkan prospek hidupnya. Dalam kaitannya dengan hal tersebut,
pertanggungjawaban moralitas ”kelebihan” dari mereka yang beruntung harus
ditempatkan pada ”bingkai kepentingan” kelompok mereka yang kurang beruntung.
“The different principle” tidak menuntut manfaat yang sama (equal benefits)
bagi semua orang, melainkan manfaat yang sifatnya timbal balik (reciprocal
benefits), misalnya, seorang pekerja yang terampil tentunya akan lebih dihargai
dibandingkan dengan pekerja yang tidak terampil. Disini keadilan sebagai
fairness sangat menekankan azas resiprositas, namun bukan berarti sekedar
”simply reciprocity”, dimana distribusi kekayaan dilakukan tanpa melihat
perbedaan-perbedaaan obyektif di antara anggota masyarakat. Oleh karenanya,
agar terjamin suatu aturan main yang obyektif maka keadilan yang dapat diterima
sebagai fairness adalah pure procedural justice, artinya keadilan sebagai
fairness harus berproses sekaligus terefleksi melalui suatu prosedur yang adil
untuk menjamin hasil yang adil pula. Terkait dengan kompleksitas hubungan
kontraktual dalam dunia bisnis, khususnya terkait dengan keadilan dalam
kontrak, maka berdasarkan pikiran-pikiran tersebut di atas kita tidak boleh
terpaku pada pembedaan keadilan klasik. Artinya analisis keadilan dalam kontrak
harus memadukan konsep kesamaan hak dalam pertukaran (prestasi – kontra
prestasi) sebagaimana dipahami dalam konteks keadilan komutatif maupun konsep
keadilan distributif sebagai landasan hubungan kontraktual. Memahami keadilan
dalam kontrak tidak boleh membawa kita kepada sikap monistic (paham tunggal),
namun lebih dari itu harus bersikap komprehensif. Dalam keadilan komutatif yang
menjadi landasan hubungan antara person, termasuk kontrak, hendaknya tidak
dipahami sebagai kesamaan semata karena pandangan ini akan membawa
ketidakadilan ketika dihadapkan dengan ketidakseimbangan para pihak yang
berkontrak. Dalam keadilan komutatif didalamnya terkandung pula makna
distribusi-proporsional. Demikian pula dalam keadilan distributif yang
dipolakan dalam hubungan negara dengan warga negara, konsep
distribusi-proporsional yang terkandung didalamnya dapat ditarik ke perspektif
hubungan kontraktual para pihak.
e. Jalan Keluar atas Masalah Ketimpangan Ekonomi
Jalan keluar untuk memecahkan persoalan perbedaan
dan ketimpangan ekonomi dan sosial yang antara lain disebabkan oleh pasar adalah
bahwa disamping menjamin kebebasan yang sama bagi semua, negara dituntut untuk
mengambil langkah dan kebijaksanaan khusus tertentu yang secara khusus
dimaksudkan untuk membantu memperbaiki keadaan sosial dan ekonomi kelompok yang
secara objektif tidak beruntung bukan karena kesalahan mereka sendiri. Langkah
atau kebijaksanaan khusus ini memang hanya dimaksudkan untuk kelompok yang
memang atas kemampuan mereka sendiri tidak bisa memperbaiki kondisi sosial dan
ekonomi mereka. Jadi jalan keluar yang diajukan atas ketimpangan ekonomi adalah
dengan mengandalkan kombinasi mekanisme pasar dan kebijaksanaan selektif
pemerintah yang khusus ditujukan untuk membantu kelompok yang secara objektif
tidak mampu memanfaatkan peluang pasar secara maksimal.
http://bachdim25.blogspot.com/2013/11/keadilan-dalam-bisnis.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar