Rabu, 04 Februari 2015

Tugas Contoh Kasus Monopoli dan Oligopoli



Contoh kasus monopoli

Kasus PT Carrefour sebagai Pelanggaran UU No. 5  Tahun 1999. Salah satu aksi perusahaan yang cukup sering dilakukan adalah pengambil alihan atau akuisisi. Dalam UU No.40/2007 tentang Perseroan terbatas disebutkan bahwa hanya saham yang dapat diambil alih. Jadi, asset dan yang lainnya tidak dapat di akuisisi.
      Akuisisi  biasanya menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan. Dalam bahasa inggrisnya  dikenal dengan istilah acquisition atau take over . pengertian acquisition atau take over  adalah pengambilalihan suatu kepentingan pengendalian perusahaan oleh suatu perusahaan lain. Istilah Take over  sendiri memiliki 2 ungkapan , 1. Friendly take over (akuisisi biasa) 2. hostile take over (akuisisi yang bersifat “mencaplok”) Pengambilalihan tersebut ditempuh dengan cara membeli saham dari perusahaan tersebut.
       Esensi dari akuisisi adalah praktek jual beli. Dimana perusahaan pengakuisisi akan menerima hak atas saham dan perusahaan terakuisisi akan menerima hak atas sejumlah uang harga saham tersebut. Menurut pasal 125 ayat (2) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan. Jika pengambilalihan dilakukan oleh perseroan, maka keputusan akuisisi harus mendapat persetujuan dari RUPS. Dan pasal yang sama ayat 7 menyebutkan pengambilalihan saham perseroan lain langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului dengan membuat rancangan pengambilalihan ,tetapi dilakukan langsung melalui perundingan dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap memperhatikan anggaran dasar perseroan yang diambil alih.
      Dalam mengakuisisi perusahaan yang akan mengambilalih harus memperhatikan kepentingan dari pihak yang terkait yang disebutkan dalam UU. No. 40 tahun 2007, yaitu Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan, kreditor , mitra usaha lainnya dari Perseroan; masyarakat serta persaingan sehat dalam melakukan usaha.
     Dalam sidang KPPU tanggal 4 november 2009, Majelis Komisi menyatakan Carrefour terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 17 (1) dan Pasal 25 (1) huruf a UU No.5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.. Pasal 17 UU No. 5/1999, yang memuat ketentuan mengenai larangan bagi pelaku usaha untuk melakukan penguasaan pasar, sedangkan Pasal 25 (1) UU No.5/1999 memuat ketentuan terkait dengan posisi dominan.
    
     majelis Komisi menyebutkan berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh selama pemeriksaan perusahaan itu pangsa pasar perusahaan ritel itu meningkat menjadi 57,99% (2008) pasca mengakuisisi Alfa Retailindo. Pada 2007, pangsa pasar perusahaan ini sebesar 46,30%. sehingga secara hukum memenuhi kualifikasi menguasai pasar dan mempunyai posisi dominan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 Ayat 2 UU No.5 Tahun 1999.
     Berdasarkan pemeriksaan, menurut Majelis KPPU, penguasaan pasar dan posisi dominan ini disalahgunakan kepada para pemasok dengan meningkatkan dan memaksakan potongan-potongan harga pembelian barang-barang pemasok melalui skema trading terms. Pasca akuisisi Alfa Retailindo, sambungnya, potongan trading terms kepada pemasok meningkat dalam kisaran 13%-20%. Pemasok, menurut majelis Komisi, tidak berdaya menolak kenaikan tersebut karena  nilai penjualan pemasok di Carrefour cukup signifikan.

http://aryo-bony-anggoro.mhs.narotama.ac.id/2011/10/23/kasus-monopoli-pasar-carrefour-indonesia/


Contoh kasus oligopoli

STRUKTUR PASAR TELKOMSEL DAN INDOSAT: OLIGOPOLI KOLUSIF?
“Temasek Holding (Pte) Ltd atau biasa disebut Temasek memiliki empat puluh satu persen saham di PT Indosat Tbk dan tiga puluh lima persen di PT Telkomsel”
Berdasarkan data kepemilikan saham ini, maka tidak salah jika masyarakat berasumsi bahwa ada konflik kepentingan dalam penanganan operasional manajemen di kedua perusahaan telekomunikasi tersebut, yang cukup besar market share-nya di Indonesia. Ketika sebuah perusahaan didirikan dan selanjutnya menjalankan kegiatannya, yang menjadi tujuan utama dari perusahaan tersebut adalah mencari keuntungan setinggi-tingginya dengan prinsip pengeluaran biaya yang seminimum mungkin. Begitu juga, dengan prinsip pemilikan saham. Pemilikan saham sama artinya dengan pemilikan perusahaan. Kepemilikan perusahaan oleh seseorang atau badan atau lembaga korporasi tentunya bertujuan bagaimana caranya kepemilikan tersebut dapat menghasilkan keuntungan terhadap diri si pemiliki saham tersebut. Bicara keuntungan tentunya kita tidak hanya bicara tentang keuntungan financial, tetapi juga tentang keuntungan non financial, seperti memiliki informasi penting, penguasaan efektif, pengatur kebijakan, dan lain-lainnya. Oleh sebab itu, kepemilikan saham Temasek di kedua perusahaan tersebut menarik untuk diamati dalam rangka mencermati apakah ada tercipta persaingan tidak sempurna untuk kepemilikan saham tersebut dalam bentuk OLIGOPOLI KOLUSIF?
Seperti halnya yang diketahui masyarakat bahwa Temasek adalah perusahaan holding yang sangat besar di Singapura dengan bentuk badan hukum Private Limited. Pada awalnya Temasek masuk ke pasar telekomunikasi Indonesia melalui divestasi PT Indosat Tbk pada tahun 2002 dengan cara pembelian saham tidak langsung, artinya pada saat itu yang membeli saham Indosat adalah Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT) melalui suatu perusahaan yang khusus didirikan untuk membeli saham Indosat, yaitu Indonesia Communication Limited (ICL). Sedangkan STT sendiri adalah perusahaan telekomunikasi terbesar kedua di Singapura yang seratus persen sahamnya dimiliki oleh Temasek Holding Pte Ltd. Jadi, dari susunan atau pola kepemilikan saham yang berlapis-lapis di Indosat, tersirat ada sesuatu kepentingan yang tidak hanya bertujuan untuk mencari keuntungan financial semata tetapi lebih dari itu. Pertanyaannya adalah apakah keuntungan non financial yang sebenarnya dicari Temasek? Jawaban sederhana atas pertanyaan ini adalah : Perjalanan waktu yang akan menentukan. Tetapi sebenarnya tujuan tersebut dapat diketahui segera jika pihak Indonesia memiliki niat untuk mengetahuinya. Hal ini tentunya akan mudah menemukannya dengan berbagai metode atau teknik investigasi untuk menemukan maksud dan niat dibalik pembelian saham Indosat oleh Temasek tersebut.
Sepak terjang Temasek di dunia telekomunikasi Indonesia semakin lengkap, dengan masuknya Temasek ke Perusahaan PT Telkomsel melalui Singapore Telecommunications Mobile Pte Ltd (SingTel Mobile). Dimana kepemilikan saham SingTel Mobile di PT Telkomsel adalah sebesar tiga puluh lima persen. Sedangkan Temasek sendiri memiliki kepemilikan saham di SingTel Mobile.
Dengan adanya kepemilikan saham tidak langsung oleh Temasek pada PT Telkomsel dan PT Indosat Tbk telah memunculkan dugaan terjadinya praktek kartel dan oligopoli di bidang jasa layanan seluler. Hal ini disebabkan untuk jasa layanan seluler khususnya di jalur GSM, hanya ada tiga ‘pemain besar’ yaitu PT Telkomsel, PT Indosat dan PT Excelcomindo Pratama, Tbk (XL). Ini artinya sekitar 75 market share telekomunikasi Indonesia di “kuasai” oleh Temasek dan dugaan awal terjadinya praktek Oligopoli kolusif di pasar telekomunikasi Indonesia.
Selanjutnya, yang menjadi bahan pertanyaan kita semua adalah apakah yang dimaksud dengan Oligopoli kolusif? Di dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Usaha Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dijelaskan bahwa yang dimaksud Oligopoli ialah Perjanjian yang dilarang antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa melebihi 75% dari market share atas satu jenis barang atau jasa tertentu. Jika ketentuan Undang-Undang ini ditafsirkan secara otentik maka pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha ekonomi baru dikatakan melakukan oligopoli kalau memenuhi dua unsur, yaitu adanya unsur perjanjian dan unsur market share lebih dari 75%. Sehingga jika kemudian ditafsirkan secara a contrario maka, pelaku usaha yang tidak membuat perjanjian dan memiliki market share dibawah atau sama dengan 74%, tidak memenuhi definisi melakukan praktek oligopoli sehingga tidak melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Dari ketentuan Undang-Undang ini jelas terlihat bahwa sesungguhnya Undang-Undang sendirilah yang membatasi pengertian dan ruang lingkup praktek oligopoli yang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Pengertian dan ruang lingkup ini membuat penegakkan hukum terhadap praktek Oligopoli ini menjadi kaku dan merugikan kepentingan pesaing yang dimatikan dan juga bahkan mungkin konsumen barang atau jasa dari pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli tadi.
Istilah Oligopoli sendiri memiliki arti “beberapa penjual”. Hal ini bisa diartikan minimum 2 perusahaan dan maksimum 15 perusahaan. Hal ini terjadi disebabkan adanya barrier to entry yang mampu menghalangi pelaku usaha baru untuk masuk ke dalam pasar. Jumlah yang sedikit ini menyebabkan adanya saling ketergantungan (mutual interdepedence) antar pelaku usaha[1]. Ciri yang paling penting dari praktek oligopoli ialah bahwa setiap pelaku usaha dapat mempengaruhi harga pasar dan mutual interdependence. Praktek ini umumnya dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menahan perusahaan-perusahaan potensial untuk masuk ke dalam pasar dan untuk menikmati laba super normal di bawah tingkat maksimum dengan menetapkan harga jual terbatas (limiting process) sehingga menyebabkan kompetisi harga diantara pelaku usaha yang melakukan praktek oligopoli menjadi tidak ada[2]. Sehingga apabila pelaku-pelaku usaha yang tadi melakukan kolusi maka mereka akan bekerja seperti satu perusahaan yang bergabung untuk memaksimalkan laba dengan cara berlaku kolektif seperti layaknya perusahaan monopoli[3], inilah yang disebut disebut praktek oligopoli kolusif. Perilaku ini akan mematikan pesaing usaha lainnya dan sangat membebankan ekonomi masyarakat.
Kembali pada kasus pemilikan saham Temasek di PT Indosat, Tbk., dan PT Telkomsel. Walaupun tidak ada perjanjian diantara PT Telkomsel dengan PT Indosat, Tbk., tetapi persoalan oligopoli sebenarnya tidak boleh hanya dilihat dari sekedar apakah ada perjanjian atau tidak? atau berapa persentase market share-nya?. Di dalam dunia telekomunikasi Indonesia khususnya untuk provider GSM, hanya ada tiga perusahaan besar. Sehingga jelas jika terbukti kedua perusahaan tersebut melakukan “kerjasama”, maka akan ada praktek oligopoli yang kolusif. Sedikitnya perusahaan yang bergerak di sektor ini membuat mereka harus memiliki pilihan sikap, koperatif atau non koperatif. Suatu pelaku usaha/perusahaan akan bersikap non koperatif jika mereka berlaku sebagai diri sendiri tanpa ada perjanjian eksplisit maupun implisit dengan pelaku usaha/perusahaan lainnya. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya perang harga. Sedangkan beberapa pelaku usaha/perusahaan beroperasi dengan model koperatif untuk mencoba meminimalkan persaingan. Jika pelaku usaha dalam suatu oligopoli secara aktif bersikap koperatif satu sama lain, maka mereka telibat dalam KOLUSI.
Pada kasus Temasek, jelas terlihat sebagai pemegang saham tentunya menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Policy ‘mengeruk’ keuntungan ini tentunya dituangkan di seluruh aspek yang menjadi unit bisnis usahanya, termasuk didalamnya adalah PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk. Sehingga dengan status kepemilikan di dua perusahaan tersebut akan dapat mengoptimalkan maksud dan tujuan Temasek tersebut. Caranya memaksimumkan keuntungan tersebut adalah kolusi antara PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk., dengan mempertimbangkan saling ketergantungan mereka, sehingga mereka menghasilkan output dan harga monopoli serta mendapatkan keuntungan monopoli. Hal ini dapat terlihat dari penentuan tarif pulsa GSM antara PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk., dimana boleh dikatakan tarif harga pulsa GSM di Indonesia adalah salah satu yang termahal di dunia. Padahal, negara-negara tetangga sekitar sudah dapat menerapkan harga unit pulsa yang sangat murah dan menguntungkan masyarakat serta tidak mematikan persaingan usaha. Apalagi notabene-nya, di negara Temasek sendiri harga unit pulsa boleh dikatakan sangat murah. Lantas, kenapa di Indonesia harga pulsa menjadi sangat mahal?. Padahal secara konsep teknologi, dimungkinkan penggunaan untuk menekan harga unit pulsa menjadi sangat murah, contohnya adalah pada teknologi CDMA Flexi dan Esia yang sering dihambat perkembangan oleh “pihak-pihak tertentu” yang tidak menginginkan perkembangan bisnis usaha ini. Padahal jelas-jelas menguntungkan masyarakat.
Coba lihat selisih harga tarif pulsa antara produk PT Telkomsel dan PT Indosat yang tidak begitu jauh. Selisih tarif yang sangat kecil ini mengindikasikan dugaan awal terjadinya praktek Oligopoli Kolusif diantara mereka. Penentuan tarif harga yang sangat mahal ini, jelas adalah pengeksploitasian ekonomi masyarakat dan boleh dikatakan sebagai Kolonialisme Gaya Baru.
Jika indikasi awal sudah ditemukan, pertanyaan selanjutnya apakah pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mampu untuk menyelesaikan persoalan ini? Yang jelas adalah salah satu mandat dari KPPU adalah untuk mengawasi pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dimana salah satu tujuan dari Undang-Undang ini adalah MENJAGA KEPENTINGAN UMUM DAN MENINGKATKAN EFISIENSI EKONOMI NASIONAL SEBAGAI SALAH SATU UPAYA UNTUK MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT. Jadi kita tunggu saja aksi dari KPPU melihat praktek oligopoli yang dilakukan PT Telkomsel dan PT Indosat, Tbk., berani atau tidak? dan pertanyaan selanjutnya adalah berpihak ke rakyat (baca: kepentingan umum) atau tidak? Mari kita tunggu bersama-sama walaupun tanpa batas waktu.

http://murtadhoali.blogspot.com/2013/05/contoh-kasus-pasar-di-indonesia.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar